Diawali pada tahun 1615, dibawah Pemerintahan VOC terbitlah "Surat kabar" pertama kali di Nusantara, yaitu “Memories der Nouvelles” ini adalah perintah dari Jan Pieterzoon yang 4 tahun kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC. Surat kabar itu masih ditulis tangan. Sebab adanya mesin ketik di Nusantara nanti sekitar tahun 1688, yaitu kiriman dari negeri belanda.
Kurang lebih ada 7 fase yang yang sudah dilewati dengan dari awal Surat Kabar ada, dari masa penjajahan Belanda, masa kependudukan Jepang, masa revolusi fisik, masa demokrasi liberal, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan masa reformasi. Pada setiap fasenya, surat kabar dijadikan alat yang paling fundamental. yang pada tahun 1920 baru dikenal dengan istilah Pers ataupun Media massa.
Mengutip kata Kustadi Suhandang
"Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani"
Keberadaan pers kian menjadi primadona oleh para pemangku kepentingan, esensi Pers sebagai the authotaraian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory,di mana pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat dikebiri.
hingga pasca orde baru yaitu pada masa reformasi, Pers kemudian diberikan hak kebebasan. Kepemerintahan singkat B.J. Habibie kemudian mempunyai andil besar dalam hal ini, sekalipun kebebasan pers telah merugikan posisinya di kursi kepresidenan.
Di 2016 silam, kami yang notabene mahasiswa Ilmu Komunikasi UNG, pernah sama- sama menggemakan kebebasan pers dan jurnalistik di jalanan, saat dua saudara kami yaitu julnalis asal medan di anaya oleh para bedebah biadab yang tak paham apa itu kebebasan berekspresi dan masih banyak lagi di kota-kota lainnya.
Kebebasan berekspresi yang dimaksud adalah bebasnya dari interfensi pihak luar lingkup, juga hak kontrol media yang diberikan sepenuhnya bagi pemilik media tersebut. Ini yang menjadi point of interest bagi saya. Dimana yang lahir dari hal ini yaitu Pers dan oknum Jurnalis juga karyanya.
Disini saya sudah mulai agak ragu, dosis untuk memperjuangkan kebebasan pers sudah mulai menurun bagi saya, apalagi rasa simpati terhadab para jurnalisnya. Ini disebabkan oleh adanya beberapa Media dan Juga para oknum jurnalisnya,yqng hanya menggunakan media sebagai alat profesi kerja dalam mendapat laba, menjadi lumbung rupiah, tanpa berpegang teguh pada khitah Pers dan Jurnalistik itu sendiri, hinga opini yang terbangun dalam pikiran kami, bahwa Pers tak ubahnya seperti Humas. Dimana yang dipublikasikan tak seimbang, hanya berat ke pencitraan.
Tapi sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa ini hanya para oknum, bukan menggeneralisir semuanya. Mungkin juga masih banyak pers yang menjaga esensialnya sebagai the extended man, juga merupakan pilar keempat bagi demokrasi the fourth estate of democracy dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah.
Terakhir, saya ingin mengutip saty tohoh lagi, yaitu Ketua Dewan Pers Indonesia, Prof. Muhammad Nuh, "Kemerdekaan Pers bisa menjadi lebih baik dengan memperkuat 4 elemen yaitu, kompetensi para jurnalis, integritas, perlindungan, dan kesejahteraan.
Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia.