Minggu, 01 November 2020

Sejumput Petuah Untukmu Seniorku




Magnum Arbor


******


Kanda. Kanda apa kabar di sana?


Dinda rindu kanda.
Rindu sejumput dusta darimu kanda.
Dusta yang Kanda lontarkan lewat papan-papan kajian itu. 

lagi buat apa hari ini kanda?
Apakah masih sama?
Menebarkan literasi palsu, dari buku yang hanya Kanda baca sekadar deskripsinya saja? 

Atau, mendoktrin adik-adikmu dengan dogma? bermodalkan sebatas aksioma, yang kau cerna dari media massa, lalu kau stigmakan lagi dalam batok kepala adik-adikmu. 

Kanda. Jangan kau sesatkan pikiran mereka lewat paradigmamu yang tidak bernas itu! Apalagi, sekadar lempar narasi yang berujung provokasi. 

Kanda. Sudahlah! Hentikan akal busukmu, jangan karena ingin terlihat kaya literasi, lalu kau isi mereka dengan opini fiktif yang tak berisi. 

Kanda. Di antara multi definisi, mengharuskan kita untuk lebih cerdas berdialektis, merunut yang global menjadi partikulir, bukan lempar persepsi berujung aksi. 

Alih-alih terlihat fasih, ternyata kosong tak berisi. Hentikan Kanda! Kasihanilah adik-adikmu, mereka lagi gencarnya mencari ilmu, jangan kau vaksinasi dengan narasi semu.


Kau terlalu konservatif kanda, sehingga kami tak segan. Di depanmu, kami hanya sekadar menghargai otoritasmu sebagai senior, bukan sebagai guru. 


Jadi jangan lacuri dan tunggangi imajinasi kami, dengan membanggakan bahwa kami kritis karna dirimu. Maaf saja! Kami terbentuk dari benturan-benturan di luar kehendakmu.


#Bolmut
(02/11/2020)

Minggu, 03 Mei 2020

Apakah Pers masih digunakan sebagai alat Perjuangan Bangsa ?

              
  Diawali pada tahun 1615, dibawah Pemerintahan VOC terbitlah "Surat kabar" pertama kali di Nusantara, yaitu “Memories der Nouvelles” ini adalah perintah dari Jan Pieterzoon yang 4 tahun kemudian menjadi Gubernur Jenderal VOC. Surat kabar itu masih ditulis tangan. Sebab adanya mesin ketik di Nusantara nanti sekitar tahun 1688, yaitu kiriman dari negeri belanda.

Kurang lebih ada 7 fase yang yang sudah dilewati dengan dari awal Surat Kabar ada, dari masa penjajahan Belanda, masa kependudukan Jepang, masa revolusi fisik, masa demokrasi liberal, masa demokrasi terpimpin, masa orde baru dan masa reformasi. Pada setiap fasenya, surat kabar dijadikan alat yang paling fundamental. yang pada tahun 1920 baru dikenal dengan istilah Pers ataupun Media massa.

Mengutip kata Kustadi Suhandang

"Pers adalah seni atau ketrampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani"

Keberadaan pers kian menjadi primadona oleh para pemangku kepentingan, esensi Pers sebagai the authotaraian, the libertarian, the social responsibility dan the soviet communist theory,di mana pers sebagai pengamat, guru, dan forum yang menyampaikan pandangannya tentang banyak hal yang mengemuka ditengah tengah mesyarakat dikebiri.

hingga pasca orde baru yaitu pada masa reformasi, Pers kemudian diberikan hak kebebasan. Kepemerintahan singkat B.J. Habibie kemudian mempunyai andil besar dalam hal ini, sekalipun kebebasan pers telah merugikan posisinya di kursi kepresidenan.

Di 2016 silam, kami yang notabene mahasiswa Ilmu Komunikasi UNG, pernah sama- sama menggemakan kebebasan pers dan jurnalistik di jalanan, saat dua saudara kami yaitu julnalis asal medan di anaya oleh para bedebah biadab yang tak paham apa itu kebebasan berekspresi dan masih banyak lagi di kota-kota lainnya.

Kebebasan berekspresi yang dimaksud adalah bebasnya dari interfensi pihak luar lingkup, juga hak kontrol media yang diberikan sepenuhnya bagi pemilik media tersebut. Ini yang menjadi point of interest bagi saya. Dimana yang lahir dari hal ini yaitu Pers dan oknum Jurnalis juga karyanya.

Disini saya sudah mulai agak ragu, dosis untuk memperjuangkan kebebasan pers sudah mulai menurun bagi saya, apalagi rasa simpati terhadab para jurnalisnya. Ini disebabkan oleh adanya beberapa Media dan Juga para oknum jurnalisnya,yqng hanya menggunakan media sebagai alat profesi kerja dalam mendapat laba, menjadi lumbung rupiah, tanpa berpegang teguh pada khitah Pers dan Jurnalistik itu sendiri, hinga opini yang terbangun dalam pikiran kami, bahwa Pers tak ubahnya seperti Humas. Dimana yang dipublikasikan tak seimbang, hanya berat ke pencitraan.

Tapi sekali lagi ingin saya tegaskan bahwa ini hanya para oknum, bukan menggeneralisir semuanya. Mungkin juga masih banyak pers yang menjaga esensialnya  sebagai the extended man, juga merupakan pilar keempat bagi demokrasi the fourth estate of democracy dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah.

Terakhir, saya ingin mengutip saty tohoh lagi, yaitu Ketua Dewan Pers Indonesia, Prof. Muhammad Nuh, "Kemerdekaan Pers bisa menjadi lebih baik dengan memperkuat 4 elemen yaitu, kompetensi para jurnalis, integritas, perlindungan, dan kesejahteraan.


Selamat Hari Kebebasan Pers Sedunia.

Rabu, 25 September 2019

Antara Pasal Ngawur, dan Kobaran api Perjuangan


Antara pasal Ngawue, dan Kibaran api Penjuangan

---

Pasal dan poin yang termaktub dalam Revisi UU KPK dan KUHP kiranya menjadi yang cukup hangat se pekan ini.
Mulai dari kesimpangsiuran substansi dari beberapa pasalnya, kerancuan, bahkan pelbagai aturan yang tumpang tindih antara UUD dan UU turunannya.

Ini menjadi sorotan bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya mahasiswa. Bagaimana tidak, banyaknya poin yang bersifat kontroversi, hal ini diakibatkan oleh pasal-pasal yang sifatnya cenderung diskriminatif dan tidak Pro rakyat, maupun hak demokrasi.

Hal ini pula, turut mengundang gerakan-gerakan kritis mahasiswa untuk melakukan demonstrasi, pada hampir seluruh Provinsi dan kota. Yang pada dasarnya Tentu untuk mengembalikan amanah Reformasi.

Begitu pula dengan Gorontalo. Turut andilnya mahasiswa gorontalo dalam demonstrasi kemarin, hampir serupa dengan tanggung jawab mahasiswa pada umumnya, yaitu menjaga nilai-nilai kebenaran yang patut dijunjung tinggi, mengontrol, dan merubah segala hal yang bersifat keliru, dan tidak pro terhadap rakyat.

Ribuan masa aksi yang tersimpul dari pelbagai organisasi kemahasiswaan turut bergabung dalam aksi ini, baik intra kampus, ekstra, sambai dengan organisasi kedaerahan ikut bersama dalam demonstrasi siang kemarin. Saking banyaknya masa aksi, kota gorontalo dibuat lumpuh total.

Hingga jalur utama kendaraanpun terpaksa harus di alihkan. Sebab, masa aksi melakukan aksi Long mars dari kampus masing-masing menuju titik kumpul awal mereka yaitu di Bundaran HI Kota Gorontalo, lalu menuju ke Kantor DPRD Provinsi Gorontalo Dengan berjalan kaki.

Setibanya di Depan Kantor, mereka sudah disambit oleh Aparat Kepolisian dengan Persenjataan lengkap, juga di lengkapi Unit Mobil Water Canon yang sedari haru sebelumnya sudah disiapkan.
Yang kapan saja digunakan untuk memukul mundur ribuan masa aksi yang ada.

Tetapi, hal ini kemungkinan besar tidak akan terjadi, dikarenakan, niatan mahasiswa untuk melaksanakan aksi ini, adalah untuk aksi damai, tanpa melakukan tindakan Represif terhadap aparat Kepolisian. Selain itu, aksi ini tanpa tendensi dari pihak manapun, atau dengan kata lain, aksi ini benar-benar lahir dari niatan tulus untuk membela hak rakyat.

Mereka pun disambut hangat oleh ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Gorontalo, yang dikawal langsung oleh Aparat Kepolisian.
Orator silih berganti dalam memberikan orasinya, sembari memohon agar diberi ruang untuk bernegosiasi dengan beberapa perwakilan dari masa aksi.

Setelah kurang lebih 7 jam berdemonstrasi, dengan berpanas-panasan di bawah terik matahari, seluruh aliansi mahasiswapun bubar secara teratur, dengan mengantongi Fakta integritas yang sudah ditandatangani oleh Ketua DPRD dan Negosiator yang sebagai perwakilan dari masa aksi (Mahasiswa).

Ketua DPRD Provinsi Gorontalo pun menekankan bahwa, Seluruh Ketua-ketua Fraksi untuk dapat bersama menyetujui hal ini, sebab ini adalah amanat rakyat Gorontalo, bahkan Seluruh rakyat indonesia, yang harus dikawal dengan baik di parlemen senayan sana.


Gorontalo 26 Sebtember 2019
(Setiawan Adi Setyo)

Jumat, 30 Agustus 2019

Antara Kebenaran dan Pembenaran



Post Truth Era



Saat ini, post truth riak diperbincangkan. Secara umum, menurut BBC, kamus Oxford menetapkan kata post-truth sebagai international word of the year pada tahun 2016 dimana selama tahun tersebut intesitas politik yang terjadi tinggi.

Presiden Kamus Oxford, Casper Grathwohl bahkan menambahkan bahwa Post-Truth masih akan menjadi word of the year selama beberapa tahun mendatang. Hal ini dikarenakan pada tahun tersebut percakapan dunia didominasi oleh wacana politik dan diskursus yang dipicu oleh meningkatnya signifikansi media sosial sebagai sumber berita dan dibarengi dengan semakin besarnya ketidakpercayaan terhadap fakta dan data yang disajikan oleh institusi terkait maupun media massa.

Setelah bertahun-tahun Post-Truth sebagai sebuah konsep pada akhirnya telah menemukan pijakan linguistiknya.

Matinya Kepakaran


"Sekarang, kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, Maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola, semua bisa bikin Opini dan menyebarluaskannya"

Apakah tiga kata yang paling sulit diungkapkan? Banyak yang akan berkata, "Aku cinta kau." Tapi tidak dengan Steven Levitt dan Stephen Dubner. Dalam Think Like a Freak, tiga kata sukar itu adalah "Aku tidak tahu." Saya kemudian membayangkan keberanian seorang filsuf Yunani kuno. Ia mengaku bahwa satu-satunya yang ia tahu adalah ia tidak tahu apa-apa. Paradoks. Dan bijaksana.

Barangkali sikap itu telah mahal di sekeliling kita. Semua orang merasa bahwa mereka mengetahui kebenaran tertentu seraya mengubur dalam-dalam kemungkinan tentang mereka keliru. Di ruang publik digital, laku ini menjelma kian brutal. Kebenaran tampak seperti barang asongan, dijual dengan harga murah. Setiap orang punya bakat jadi tukang obat. Kebenaran jadi dingin, beku, dan cekam.

Tidak gampang untuk mengakui bahwa kita tidak tahu apa-apa. Sartre kecil menganggap dirinya anak paling tampan sebelum menjadi filsuf.

Pada 1999, David Dunning dan Justin Kruger dari Cornell University meneliti perampok bank yang melumuri mukanya dengan jus lemon untuk menyamar. Perampok pintar itu bernama McArthur Wheeler. Dalam logika Wheeler, karena jus lemon mengandung zat yang sama dengan yang terdapat dalam tinta bening, maka menggunakannya di wajah akan membuat dia tak terlihat CCTV. Dengan kejeniusan itu Wheeler akhirnya membantu polisi menangkap dirinya sendiri.

Fenomena psikologi yang dialami McArthur Wheeler disebut Dunning-Kruger Effect, yakni bias kognitif yang menjadikan Wheeler keliru menilai kemampuan dirinya sendiri. Wheeler merasa ide briliannya tak mungkin salah. Efek ini bisa beragam untuk banyak jenis orang; ada yang merasa lebih alim, lebih cantik, lebih pintar, lebih spesial, lebih harum, lebih gaul, lebih kaya, dan kelebihan-kelebihan yang dianggap tidak dimiliki manusia lain. Dunning-Kruger membuat orang menilai diri terlalu tinggi dari kenyataan; ekspektasi lebih muluk dari pengetahuan—sampai titik yang mana imajinasi sudah merajam-rajam realitas yang diam-diam mencibir akal sehat.

Beberapa Satire


Selain Dunning-Kruger Effect, kita kenal juga backfire effect. Seorang subjek otaknya dipindai MRI. Lalu peneliti memberikan argumen yang bertentangan dengan keyakinan subjek itu. Satu bagian otak yang aktif di kepala subjek adalah amigdala, bagian yang bertanggung jawab atas respons fight-or-flight (kelahi-atau-lari). Refleks ini ternyata tidak hanya berlaku ketika nenek moyang kita berhadapan dengan predator buas, tetapi juga ketika diserang oleh data atau informasi yang mengancam sistem keyakinan kita.

Orang kemudian akan tergelincir kepada bias-bias kognitif. Pertama adalah bias konfirmasi (confirmation biases); kita cenderung mengindahkan fakta yang mendukung keyakinan kita. Kedua adalah bias diskonfirmasi (disconfirmation biases); kita berprasangka buruk kepada fakta yang tidak mendukung keyakinan kita. Bahkan ketika suatu fakta ilmiah mematahkan dan menghancurkan sistem keyakinan sampai arang paling terakhir, kita bakal berkonfrontasi dengan fakta tersebut mati-matian—kita barangkali akan mempertahankan pandangan keliru itu lebih gigih daripada sebelumnya.

Orang-orang memang gemar membenarkan prasangka ketimbang apa yang berada di balik teks. Kita senang senang menyimpulkan isi rumah berdasarkan arsitektural fasad.

Sok Tahu


Kenapa kita takut mengakui bahwa kita tidak tahu? Soal itu terlalu sulit dijawab. Tapi mari kita tanya apa saja yang kita tahu akan sesuatu, akan berjibun jawaban yang berbaris di belakang kata-kata. Kita memang makhluk yang sok tahu. Kita mungkin tahu sedikit soal apa yang terjadi di sekitar kita hari ini dan apa yang terjadi di masa silam. Itu karena kita pernah mengalaminya secara langsung atau sempat membaca lewat teks. Tapi bagaimana dengan masa depan? Sesuatu yang belum pernah kita lalui, yang belum pernah kita baca sejarahnya?

Mari mundur satu abad sebelum Voltaire jaya di panggung kesusasteraan Prancis. Di tanah Saint Remy de Provence, seorang bernama Michel de Nostradame alias Nostradamus lahir. Ia merintis karier awal sebagai penulis kumpulan resep makanan sampai akhirnya mahsyur lewat Le Propheties pada 1555. Buku itu memuat lebih dari seribu kuatrin (puisi empat seuntai) yang dipercaya merupakan nubuat masa depan. Sampai hari ini, banyak pengikut Nostradamus dan okultisme percaya bahwa kejadian-kejadian besar sejarah seperti pembunuhan Kennedy, 9/11, Revolusi Prancis, kemunculan Hitler, "jamur asap" Hiroshima dan Nagasaki, dan banyak lagi, telah lebih dahulu diramalkan Nostradamus.

Bila kita hanya fokus pada satu prediksi (yang sangat metaforis dan multitafsir), ramalan itu bisa terlihat nyata pada kejadian-kejadian yang bahkan tidak berkorelasi sama sekali. Tapi Nostradamus membuat lebih dari seribu prediksi yang semuanya tertulis samar tidak jelas. Kita juga bisa seperti Nostradamus. Tinggal membikin puluhan ribu prediksi tentang masa depan, paling banter, setidaknya terdapat satu prediksi yang bisa berhubungan dengan peristiwa nyata—dan hubungan itu mungkin dipaksakan lewat lapisan-lapisan tafsir.

Saya bisa saja membuat prediksi bahwa "manusia akan menangis pada senjakala bumi." Kelak bila robot jahat muncul atau lapisan iklim menipis atau nuklir kembali menumbuhkan "jamus asap raksasa", orang-orang akan melakukan cocoklogi lantas para penggemar okultisme bakal mengangkat saya sebagai Nostradamus baru. Ramalan selalu punya daya godaan tersendiri. Dan itu yang membuat saya terusik. Sekelebat John Kenneth Galbraith, pakar ekonomi Harvard, melintas di otak saya: "Terdapat dua jenis peramal: mereka yang tidak tahu, dan mereka yang tidak tahu kalau mereka tidak tahu." Bagi saudara laki-laki saya, jenis kedua merupakan manusia tersial di muka bumi --tanpa menyangsikan kemungkinan bahwa saya, Anda, dan saudara laki-laki saya tergolong di dalamnya.

Tidak heran nubuat Hitler tentang supremasi rasisme ternyata patah di pertengahan abad ke-20 kemarin. Juga nubuat Marx tentang punahnya negara dan bangkitnya Internasionale (dengan huruf I kapital) tak pernah terjadi (buruh justru lebih loyal kepada negara-bangsa). Prediksi yang bersifat ideologis mengandung banyak bias dan cacat tatap yang dapat retak dalam banyak kesempatan.

Seorang superforecaster (peramal ulung), kata Tetlock, bukanlah yang punya afinitas ideologis-politis, tapi mereka yang berpikiran jauh lebih moderat. Kunci dari memprediksi masa depan dengan lebih mendekati akurasi adalah keterbukaan pikiran dan keterbukaan pengalaman dan keterbukaan atas kekeliruan; keterbukaan adalah prasyarat menggusah bias dalam kognisi manusia.

Kenapa kita tidak bisa memprediksi suatu peristiwa yang tak terduga? Lewat bukunya yang terbit pada 1912 bertajuk The Problem of Philosophy, Bertrand Russel menjawab pertanyaan rumit itu dengan cara sesederhana mungkin: seekor ayam yang diberi makan terus-menerus akan berasumsi bahwa ia akan tetap diberi makan setiap hari. Ini dimulai dengan keyakinan bahwa manusia adalah makhluk yang baik. Tak ada satu pun gagasan muncul dalam kepala ayam bahwa pada akhirnya hanya tinggal menunggu waktu sebelum kepalanya disembelih.

Penulis Lebanon, Nassim Nicholas Taleb menyebut fenomena itu sebagai ketidakmampuan kita memprediksi masa depan dari algoritma masa lalu. Dahulu, dunia Barat selalu mengasumsikan semua angsa berwarna putih. Sampai pada abad ke-17, para naturalis menemukan angsa berwarna hitam. Taleb ingin membuktikan bahwa apa yang tidak bisa dibayangkan nalar kita bisa langsung kalah oleh fakta baru yang mencolok bola mata. Dan itu mengingatkan bahwa selalu kita mempertahankan sesuatu yang bakal runtuh cepat atau lambat.

Semuanya bergerak di sekitar garis besar yang sama. Entah Dunning-Kurger Effect, backfire effect, atau ilusi forecaster: makhluk manusia ini cenderung ingin tampil sok tahu dengan segala klaim kebenaran tertutup yang acapkali membinasakan makhluk lain.

Barangkali sebagian besar porsi waktu kehidupan diserap oleh ketidaktahuan kita atas segala sesuatu. Saya sendiri pun seringkali tidak tahu kalau saya tidak tahu apa-apa. Mungkin Anda pun begitu, atau rekan kerja Anda, atau handai taulan Anda, atau orangtua Anda. Saya tidak tahu. Kita hanya bisa menduga-duga tanpa tahu ke mana tepi dugaan itu bakal bermuara ke pangkal terakhir. Yang pasti, McWheeler, Sartre kecil, Paus Benoit XIV, Nostradamus, pun saudara laki-laki saya pernah mengalami itu dalam titimangsa tertentu.

Kegelapan Pengetahuan


Kita tidak nyaman mengakui hidup dalam kegelapan pengetahuan. Zaman telah membanjiri dengan data dan informasi, tapi sesuatu dalam ego manusia selalu merasa menguasai satu jenis "versi kebenaran" yang lebih unggul di atas segala-galanya. Saya tidak hanya malu mengakui bahwa saya tidak tahu banyak perihal apa yang tengah terjadi di dunia ini, saya juga merasa pengecut berkata "aku tidak tahu" di hadapan pertanyaan-pertanyaan yang haus jawaban itu. Segera setelah melakukan pengakuan dosa itu pada saat-saat paling hening, saya merasa lebih akrab dengan diri sendiri, setelah terasing dalam jangka waktu yang sangat lama—seperti ada tembok yang meleleh di antara rongga-rongga batin dan daging.

Lalu kegelapan itu menjadi lebih ringan dan sederhana. Ketidaktahuan menjelma bahan bakar bagi jiwa saya agar selalu kelaparan. Segala kemungkinan demi kemungkinan tampak tidak berbahaya lagi. Untuk sementara, "duri mahabenar" itu barangkali tercabut dari benak saya. Tapi manusia selalu terperosok di lubang yang sama; selalu akan tiba satu waktu di mana saya lupa bahwa saya tidak tahu apa-apa, dan giliran Anda untuk mengingatkan saya kembali.


:Setiawan Adi Setyo:

YAKUSA

Senin, 04 Februari 2019

HMI Dan Khittah Perjuangan




72 tahun bukan waktu yang singkat dalam menjaga NKRI, ribuan Ikhtiar di bangun dari kesadaran kritis tiap rentetan generasinya. Dua tahun setelah indonesia merdeka, hingga saat ini.

Gagasan, Gerakan, Bahkan Tantangan acapkali terejawantahkan dalam setiap era, dari rezim Orator, Diktator, sampai pada Rezim Koruptor tak selangkah pun mundur dengan alasan Marwah.

Kini Himpunanku sudah menginjak Usia Senja, Pelupa, Tatapan yang tak setajam dulu kini mulai terasa, api perjuangan the founding father kian meredup, DIMANA LAFRAN PANE ? Ternyata ia tak ada lagi dalam benak setiap kadernya. 

Semangat juang di hantar pulang oleh para kadernya ke tempat peristirahatan, terkubur dalam satu lubang yang sama dengan persemayangan almarhum Kanda Lafran Pane.

Mana yang katanya Reimajinasi, reaktualisasi, rekonstruksi, revitalisasi ? Hah Bulshit. Tak dapat lagi di bedakan mana Kader dan mana Helder.!!! Hanya ada dua pilihan ! Maju, atau MATI.


Bahagia HmI 

Senin, 14 Januari 2019

Jejak Langkah dan Arah Juang PPMIBU


Furnitur Dapur Peradaban


Di hitung-hitung, Kurang lebih sudah 3 tahun saya berada di rumah yang katanya dapur peradaban, intelektualistik dan kedaerahan dengan tujuan Analisis, riset dan Aksi.

 Seutas demi seutas konflik maupun dinamika kian membuka tabir furnitur yang sebenarnya, tak ada lagi kehangatan dalam sebuah Persatuan yang katanya terhimpun dengan rasa kekeluargaan yng kuat, sebab jiwa ke-Akuan semakin hari makin gembar-gembor di kultuskan oleh masing-masing orang yang ada di dalamnya.

Motto Organisasi Hebat dan Akademik Mantap pun serasa seperti dotrin pasaran yang hanya mampu di lisankan, tanpa di ejawantahan.

 Demokrasi yang katanya sebagai hak makin hari makin tenggelam bersama harapan para pendiri terdahulu, dan kini hanya Indoktrinasi yang mulai tumbuh subur, entah siapa yang menaburkan benih-benihnya, di cangkok lagi dengan ranting-ranting kebencian yang juga begitu rindangnya, sehingga kini dapur peradaban kita di Rasuki dan di Rusaki.

Jika pak tani mengkapling sawahnya perpetak untuk ditanami padi, maka para oknum dalam PPMIBU mampu mengkapling adik-adik kadernya untuk memberikan sekat ideologi juga penanaman kebencian terhadap satu sama lain. Miris! Konstruksi intelektual yang sengaja dibangun dengan susah payah, dirobohkan menjadi puing-puing olehnya.

Ada apa dengan kader PPMIBU 

Kader PPMIBU sedang mengalami kemarau panjang intelektual, kulturisasi kajian seakan mati, "bukan karna tak ada yang ber-INISIASI, bahkan banyak yang meng-APRESIASI, hanya saja tak ada yang ber-PARTISIPASI. Mayoritas dari mereka menganggap kultur kajian sudah tak penting lagi dan tak relevan dengan zaman, seakan ingin melupakan bahwa inilah "Mimbar Akademik" tempat di mana Dialektika adalah aktualisasi yang sangat bermanfaat, dan Mereka lupakan itu.

Membangun kesadaran palsu antar sesama, KAITOLOGI dan COCOKMOLOGI pun menjadi sarapan sehari-hari untuk para junior, dogma menjalar begitu luas, tertanam begitu dalam dan terikat begitu erat, membentuk satu pemikiran Anarko dan Buta yang sudah di jadikan Stigma. 

Sehingganya, para korban cenderung menjadi sekumpulan separatis plus Apatis yang siap terima perintah untuk bertindak Subversif di rumahnya sendiri. Mereka lupa, yang dirasuk dan dirusak adalah rumah.

PPMIBU sebagai Kawah Candradimuka

Candradimuka namanya, kawah dimana gatot kaca diterpa, dikukuhkan menjadi manusia yang paripurna, berotot kawat bertulang besi, kawah semagaimana semua pusaka berada di dalamnya, untuk bagaimana kemudian menjadi ruang pembentukan intelektual dan jati diri.

PPMIBU seyogyanya adalah sebuah kawah Candradimuka. Ruang kajian harus terbuka lebar, begitu pula dengan pengkultusan Tema yang harus juga progresif, sebab semakin kesini zaman semakin berubah, tantangan semakin berat, kita jangan hanya stagnan dengan satu pemikiran saja untuk di jadikan perspektif tolak ukur penilaian.

Ini sudah bukan era Posmodernism lagi, kita sudah berada di era millenial dan hampir sampai di era Generasi Alpha, sembari menjemput Revolusi industri 4.0, yang mana ketika pemikiran kita tidak terus di upgrade dan masih stagnasi dengan kajian itu-itu saja, maka kita akan ketinggalan, bumingnya Science menjadikan  Filsafat pun harus tunduk padanya, karna Relevansi antara teori dengan hukum realita alamiah haruslah berkesinambungan.

Bersama mengembalikan Khitah Perjuangan Persatuan Pelajar Mahasiswa Bolaang Mongondow Utara, agar tetap sejalan dengan mimpi para pendiri terdahulu kita. Yakin dan Percaya, apabila mahabah sesama kader, terus kita jaga, maka takan tersisa sedikitpun untuk merusak wadah kita sendiri, Justru akan terus membangunnya.

Sekian dari saya.

Billahi taufiq wal hidayah..

:Setiawan Adi Setyo:
*Tulen lepasan kader , bukan kader lepas*

Minggu, 10 Juni 2018

Kenapa literasi itu penting ?
Dalam kehidupan ini, kiranya kita menyadari bahwa tidak ada ilmu pengetahuan yang bisa di dapatkan secara eksplisit tanpa literasi dan literatur yang jelas, sebagaimana elemen ilmu yang terdiri dari teori, regulasi dan fakta empiris dan sudah teruji,maka dengan hal ini bisa kita simpulkan bahwa membaca(Iqra) adalah satu - satunya cara untuk meng-uprade kemampuan diri agar dapat bertindak dengan tepat.

Bahkan, ada adagium yang mengatakan "Membacalah jika ingin mengenal dunia, dan menulislah jika ingin di kenal dunia"
Dogma yang kiranya sudah memiliki banyak pembuktian, ada satu adagium lagi dari seorang filsuf bernama voltaire yang menyatakan "Semakin aku banyak membaca, semakin aku banyak berpikir; semakin aku banyak belajar, semakin aku sadar bahwa aku tak mengetahui apa pun" atas dasar itu, kiranya menjadi satu pijakan agar terus bersemangat untuk mengecap dalamnya sumur ilmu pengetahuan.

Saya kira setiap gerakan itu mengandung dan mengundang, dan mempunyai konsekuensi baik ataupun buruk, yang kemudian hadir menjadi jalan yang bercabang, dengan konsekuensi yang berbeda juga tantangan yang berbeda pula, wajar jika ada ultimatum dari seorang guru yang mana berkata inti dari belajar adalah bergerak, akan tetapi analogi yang kemudian muncul yaitu belajar berliterasi dan bergumul dengan wejangan keilmuan itu ibarat sebuah pasokan ataupun bekal seorang musafir yang harus ia persiapkan ketika masih berada di wadah awalnya tersebut, ketika bekalnya sudah cukup, maka berniatlah untuk berangkat menggapai apa yang kemudian di cita - citakan untuk kemaslahatan umat dengan melalui jalan apa saja, entah kau ingin melalui pergerakan sekunder bahkan sekuler sekalipun.

Literasi, kajian semi formal maupun formal ataupun lain sebagainya yang bersifat kultural, adalah dasar awal untuk melangkah, jadi itu bukan menjadi opsi pilihan jalan yang akan di lewati. Semua jalan pembaharuan yang bermuara pada kemaslahatan pasti berpijak kepada kultur budaya literasi itu sendiri, bahkan para patron penggerak yang pernah di tulis dalam sejarah pasti melalui hal itu...

Sekian dari saya.
Billahi taufiq wal hidayah
Yakin usaha sampai
Wasalamualaikum Wr.Wb

Setiawan adi setyo(FN)

Sejumput Petuah Untukmu Seniorku

Magnum Arbor ****** Kanda. Kanda apa kabar di sana? Dinda rindu kanda. Rindu sejumput dusta darimu kanda. Dusta yang Kanda lontarkan le...